Kabupaten Karanganyar, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah
Karanganyar, sekitar 14 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sragen di utara, Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Wonogiri di selatan, serta Kabupaten Boyolali, Kota Surakarta, dan Kabupaten Sukoharjo di barat. Kabupaten Karanganyar memiliki sebuah kecamatan enklave yang terletak di antara Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Surakarta.
Asal nama
Nama Karanganyar berasal dari pedukuhan yang berada di desa ini. Nama ini diberikan oleh Raden Mas Said (Mangkunagara I), karena di tempat inilah, ia menemukan kemantapan akan perjanjian baru (bahasa Jawa:
anyar) untuk menjadi penguasa setelah memakan wahyu keraton dalam wujud burung derkuku.
Geografi
Bagian barat Kabupaten Karanganyar merupakan dataran rendah, yakni lembah Bengawan Solo yang mengalir menuju ke utara. Bagian timur berupa pegunungan, yakni bagian sistem dari Gunung Lawu. Sebagian besar daerah pegunungan ini masih tertutup hutan.
Sejarah
Karanganyar
lahir sebagai dukuh kecil, tepatnya terjadi pada tanggal 19 April 1745
atau 16 Maulud 1670. Pencetus nama Karanganyar adalah Raden Mas Said,
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Cikal bakal
daerah Karanganyar berasal dari Raden Ayu Diponegoro atau Nyi Ageng
Karang dengan nama kecil Raden Ayu Sulbiyah. Pada waktu itu Karanganyar
menjadi sebuah dukuh kecil (badran baru) yang termasuk dalam
wilayah Kasunanan Surakarta, pada saat itu pimpinan Swapraja
Kasunanan Surakarta adalah Sri Pakubuwono II.
Akibat
dari adanya “Perjanjian Giyanti” pada tanggal 13 Februari 1755
antara Sunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi, yang salah satu
isinya adalah pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, yaitu
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dukuh kecil
Karanganyar yang terletak di Sukowati Selatan termasuk ke dalam
wilayah Kasultanan Yogyakarta dan yang berkuasa pada saat itu adalah Sri
Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi) pada tahun 1755-1792.
Pada
tahun 1847, Sri Mangkunegara III di Kerajaannya Mangkunegaran
mengadakan tatanan baru, analogi yang berlaku di Kasunanan
Surakarta adalah Staatblat 1847 No.30 yang mulai berlaku pada
tanggal 5 Juni 1847, yang salah satu peraturan tersebut menyatakan
bahwa Karanganyar merupakan salah satu wilayah.
Pada
tahun 1903 dibentuk Kabupaten Anom Kota Mangkunegaran, meliputi wilayah
kota Sala bagian utara, Wanareja, Kaliyoso, dan Colomadu.Swapraja
Mangkunegaran. IstilahOnderregentschap diubah menjadi regentschap atau
dalam bahasa Indonesia yang berarti “Kabupaten” oleh Sri Mangkunegoro
VII yang memegang pemerintahan saat itu (1916-1944), tepatnya pada
tanggal 20 November 1917.
Dengan
demikian, pada tanggal 20 November 1917, lahirlah Kabupaten Karanganyar
dengan ibukota Karanganyar. Nama Karanganyar sendiri terbentuk dari
tiga kata yang masing-masing mempunyai arti dan maksud :
Ka : Kawibawaningkang dipun gayuh (kawibawaan yang dicita- citakan).
Rang : Rangkepanipun lahir bathin pulung lan wahyunipun sampun turun temurun(rangkapnya lahir dan batin, pulung dan wahyunya turun).
Anyar : Badhe nampi perjanjian anyar/enggal winisudha jumeneng Mangkunegoro I (akan menerima perjanjian baru yang diangkat menjadi Mangkunegoro I).
Reorganisasi
wilayah Kadipaten Mangkunegaran dilakukan dengan Kaputusan Sri
Mangkunegara VII tentang pembentukan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten
Karanganyar. Pada tanggal 18 Nopember 1917 KGPAA Mangkunegara VII di
Kabupaten Karanganyar melantik KRT Hardjohasmoro sebagai Bupati
Karanganyar.
Dalam pelantikan disampaikan pidato pengarahan oleh KGPAA Mangkunegaran VII antara lain:
Seorang Bupati harus benar-benar menjalankan tugas dengan baik dan loyal kepada tugas pemerintahan
Arti Logo
Bentuk
Bentuk
daripada lambang daerah Kabupaten Karanganyar merupakan sebuah perisai
bersudut lima yang digayakan berwarna dasar coklat muda, bertepian (plisir) warna putih, isi lukisan sebuah segi enam berwarna dasar merah putih bertepian warna putih.
Isi dan Warna
Pada
perisai tersebut terlukiskan empat belas macam benda alam, bangunan,
tumbuh-tumbuhan yang tata letaknya tersusun secara artistik, empat
diluar, sepuluh di dalam segi enam, terdiri dari :
- Diluar segi enam
- Diatas segi enam, sebuah bintang segi lima warna kuning emas
- Disebelah kiri segi enam, setangkai padi berisi tujuh belas butir warna kuning
- Disebelah
kanan segi enam, setangkai kapas, terdiri dari delapan kapas warna
putih, empat bunga warna kuning, dan lima daun warna hijau
- Dalam segi enam:
- Sebatang pohon beringin, berakar gantung empat warna hijau tua
- Sebuah bende (alat gamelan) warna biru muda di bawah pohon beringin
- Gunung warna hitam merupakan alas bende
- Persawahan warna hijau tua dan saluran air warna putih pada kaki gunung
- Dua batang tebu warna putih berdiri di atas persawahan melingkari bende
- Susunan delapan helai daun teh berbentuk sayap warna coklat muda di tengah-tengah persawahan
- Sebilah keris warna kuning, bertingkai (ukiran) hitam, berdiri tegak di tengah tengah daun teh
- Roda bergigi empat warna kuning di bawah daun teh
- Lima mata rantai warna hitam pada roda
- Dua pucuk bambu runcing warna putih membatasi persawahan di sebelah kanan dan kiri
Arti
Perisai bersudut lima, keris dan bambu runcing melambangkan penolakan bahaya berdasarkan Pancasila
Bintang
melambangkan keagungan Tuhan dan kesadaran serta ketentuan beragama
rakyat daerah Kabupaten Karanganyar yang menjiwai Pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya
Segi
enam melambangkan daerah Kabupaten Karanganyar berbatasan enam daerah:
Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kotamadya
Surakarta, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Sragen
Padi dan kapas melambangkan :
Kata “KARANGANYAR” dalam pita menunjukkan nama daerah Kabupaten Karanganyar
Pohon
beringin melambangkan kewibawaan Pemerintah Daerah Kabupaten
Karanganyar dan rasa kebangsaan Indonesia, akar gantung melambangkan
tempat bekas kawedanan
Bende melambangkan:
Gunung melambangkan keteguhan yang abadi rakyat daerah Kabupaten Karanganyar, dalam pengabdiannya kepada Negara, Nusa dan Bangsa
Persawahan dan saluran air melambangkan kesuburan daerah Kabupaten Karanganyar
Tebu melambangkan adanya perusahaan gula dalam daerah Kabupaten Karanganyar yang mempunyai standar internasional
Daun teh melambangkan bahwa:
Bentuk sayap:
Roda melambangkan bahwa sebagian rakyat daerah Kabupaten Karanganyar terdiri karyawan dan buruh
Rantai melambangkan persatuan dan kesatuan rakyat daerah Kabupaten Karanganyar yang dijiwai oleh semangat gotong royong
Warna Dasar
Warna coklat muda melambangkan rasa tanggung jawab rakyat Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar
Warna merah putih melambangkan:
Warna kuning emas berarti keagungan
Warna hijau melambangkan penghargaan kemakmuran rakyat dan kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten karanganyar
Warna
biru melambangkan pengharapan kesetiaan rakyat dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Karanganyar dalam melaksanakna tugasnya masing-masing dengan
tekad yang bulat dan abadi
Warna Kuning melambangkan semangat membenci terhadap segala bentuk keangkara-murkaan dan penyelewengan
KEDUDUKAN LAMBANG
Lambang
Daerah Kabupaten Karanganyar wajib dihormarti dan diperlakukan secara
wajar oleh setiap warga daerah Kabupaten Karanganyar, karena mengandung
nilai-nilai positif dan ideal yang mencerminkan kehidupan dan cita-cita
luhur rakyat daerah Kabupaten Karanganyar.
Lambang Daerah Kabupaten Karanganyar merupakan tanda resmi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar.
Nilai Budaya
Upacara Adat Bersih Desa Dalungan.
Latar Belakang
Dalungan
sebenarnya adalah nama sebuah desa di Kecamatan Kebakkramat. Tepatnya
Desa Dalungan, kelurahan Macanan Kecamatan Kebakkramat Kabupaten
Karanganyar.
Desa Dalungan
mempunyai suatu kegiatan upacara bersih desa, yang akhirnya membudaya
dan tetap dilestarikan sebagai suatu tradisi masyarakat, dan akhirnya
kegiatan bersih desa itu disebut Dalungan.
Upacara
bersih desa ini termasuk upacara religi, diselenggarakan dengan maksud
agar seluruh penduduk di wilayah desa Dalungan selalu mendapatkan berkah
dari Allah SWT dan terhindar dari segala hal-hal yang bersifat tidak
baik sehingga merugikan masyarakat desa, misalnya di bidang kesehatan
agar masyarakat terhindar dari wabah penyakit, untuk pertanian petani
bisa berhasil dalam panennya, sehingga desa Dalungan menjadi aman
tentram murah sandang pangan dan sejahtera. Upacara bersih desa Dalungan
sudah dilaksanakan sejak dulu kala sampai sekarang secara turun
temurun, sehingga upacara bersih desa Dalungan sudah menjadi warisan
leluhur yang tetap dipertahankan dan dilestarikan.
Dalam
pelaksanaan upacara ritual bersih desa Dalungan selalu ditampilkan Seni
Tayub dengan maksud caos sesaji kepada penunggu desa yang diyakini
berada di sebuah Pundhen. Penunggu yang berada dipundhen tersebut adalah
: Kyai Panjipuro dan Nyai Panjipuro serta Kyai Gendhongali. Masyarakat
meyakini ketiga penunggu desa tersebut bertempat pada sebuah batu yang
berbentuk Yoni (belum diketahui usianya berapa tahun).
Perunjukan
Tayub sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan
terkait dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau
kepercayaan masyarakat.
Waktu Pelaksanaan
Upacara
bersih desa Dalungan dilaksanakan setiap tahun, setiap bulan Ruwah
(Kalender Jawa) pada hari Jum’at Legi. Hal ini waktu pelaksanaan tidak
boleh diundur-undur atau diulur-ulur waktunya dan harus
memanggil/mementaskan Ledhek Tayub. Sudah menjadi keyakinan kalau
pelaksaan diulur-ulur waktunya, akan terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan oleh masyarakat Dalungan.
Proses Upacara
Acara
bersih desa dilaksanakan pada sore hari dimulai sekitar pukul 15.00 –
17.30. setelah bancaan/kenduri , Ledhek Tayub mulai menari menghibur
para roh yang berada di Pundhen selama kurang lebih 3 (tiga) sampai 5
(lima) lagu saja yang pokok. Menjelang maghrib, acara pokok selesai
kemudian dilanjutkan dengan kesenian Tayub lagi tapi tempatnya pindah
dari komplek Pundhen. Biasanya diperempatan desa atau tampat lain selain
di Pundhen.
Tradisi Masyarakat Desa Dalungan
Pelaksanaan
upacara bersih desa dengan mementaskan pertunjukan Tayub berkaitan erat
dengan mitos yang berlaku dan masih diyakini oleh masyarakat desa
Dalungan Kalurahan Macanan Kecamatan Kebakkramat. Mitos yang berlaku di
desa Dalungan tersebut adalah bahwa penari Tayub dianggap sebagai
perantara antara masyarakat desa dengan ”Dewi Kesuburan ”.
Tujuan
masyarakat mengadakan upacara bersih desa agar desanya mendapatkan
berkah, ketenangan lahir batin, kesehatan, murah sandang pangan lewat
Dewi Kesuburan.
Melalui
upacara besih desa Tayub merupakan aktifitas yang sangat penting dan
harus dilaksanakan oleh masyarakat Dalungan. Apabila tidak dilaksanakan
seluruh warga akan terkena akibatnya. Hal-hal negatif selalu membayangi
mereka.Oleh Karena itu bersih desa Tayub harus dilaksanakan. Pandangan
mereka berdasarkan keyakinan bahwa tayub dalam ritual bersih desa
membawa berkah keselamatan, ketentraman, kesuburan dan keamanan desa
Dalungan.
Perunjukan Tayub
sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan terkait
dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau
kepercayaan masyarakat
Dari
latar belakang dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Dalungan sebagian
besar masih percaya akan kekuatan dhanyang (roh halus penunggu) yang
berada di desa dan mereka percaya bahwa upacara bersih desa yang
dilakukan akan menjadikan desa Dalungan selamat dari bencana.
Kelengkapan Bersih Desa Dalungan.
Upacara
bersih desa Tayub di Desa Dalungan, selain dalam penyelenggaraannya
harus mementaskan Tayub, juga dilengkapi dengan sajen atau sesaji.
Kesenian Tayub dan kepercayaan dapat dipadukan menjadi satu sistem
upacara sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual
maupun material.
Selain
Tayub kelengkapan bersih desa adalah sajen, yaitu segala sesuatu yang
disajikan dalam upacara berupa makanan dan buah-buahan. Makanan biasanya
berupa nasi uduk, lauk pauk (sambel goreng, bakmi, tahu, tempe, krupuk,
rempeyek, lalapan, buah pisang dll), ingkung panggang yang semuanya
merupakan seperangkat makanan untuk kenduri.Sajen tersebut dibawa ke
Pundhen untuk kemudian di adakan do’a bersama.
Tayub
Dalam Ritual Bersih Desa Sebagai Simbol kesuburan Pertunjuka Tayub pada
upacara bersih desa di Dalungan sangat diharapkan kehadirannya, bahkan
sudah menjadi komitmen bagi maasyarakat Dalungan, warga tidak bisa
menerima kehadiran tari lain kecuali tari Tayub. Masyarakat mempunyai
kepercayaan bahwa penari Tayub telah berhasil membawa masyarakat
Dalungan meningkat lebih baik lagi taraf kehidupannya.
Tayub
sebagai lambang kesuburan tanaman, oleh para petani desa Dalungan,
Tayub dipersembahkan kepada dhnyang setempat yang menempati
tempat-tempat tertentu. Tempat tersebut sanngat dihormati, terbukti
selalu dibersihkan secara rutin, khususnya setahun sekali setiap
diadakan ritual desa dengan perlengkapan sajen.
Upacara Adat Dawuhan.
Dawuhan
adalah bentuk upacara tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun
sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa telah diberikan sumber
kehidupan yaitu dengan membersihkan sumber mata air dari semak belukar
atau tanaman yang menggangu dimana air mengalir. Sumber mata air biasa
dipergunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai
air minum, memasak ataupun untuk untuk mengalir pertanian penduduk desa.
Tradisi Dawuhan diungkapkan dalam bentuk sesaji berupa hasil bumi atau
nasi tumpeng lengkap dengan laukpauk. Upacara Dawuhan masih di lakukan
masyarakat di daerah Tawangmangu, Ngargoyoso dan Jenawi. Tradisi Dawuhan
selain sebagai ucapan syukur kepada yang Maha Kuasa juga merupakan
sarana atau bentuk kepedulian sesama dimana warga masyarakat saling
bersilahturami dengan makan bersama
Upacara Adat Suryajawi.
Ritual
ruwatan yang dipercaya orang Jawa bisa membuang sial ternyata tidak
hanya dilakukan untuk manusia, tetapi di wilayah Tawangmangu Kabupaten
Karanganyar di lakukan ruwatan hewan yaitu kuda. Kuda di Tawangmangu di
gunakan masyarakat untuk mencari nafkah. Paguyuban Turangga Karya adalah
perkumpulan kuda tunggang yang beroprasi diwilayah Air Terjun Grojagan
Sewu Tawangmangu. Ritual ini dilakukan setahun sekali pada bulan sura.
Prosesi ruwatan ini diawali dengan arak-arakan kuda sebanyak + 140 ekor
yang telah dihias sedemikian rupa dan sehari sebelumnya dimandikan oleh
pemiliknya. Seperti ruwatan pada manusia, ruwatan pada kuda ini juga
menyediakan sesaji berupa tumpeng. Sesampai di tempat ruwatan, kuda-kuda
ditambatkan sementara para pemiliknya menyaksikan pertunjukkan wayang
kulit yang dimainkan peruwat. Setelah peruwat memimpin doa, tumpeng pun
dibagikan untuk dimakan bersama-sama pemilik kuda. Puncaknya adalah
membasuh kuda-kuda dengan air kembang 7 warna. Kuda beserta pemiliknya
mendapatkan nasehat dari peruwat diawali dengan mencelupkan pangkal
cemeti ke dalam ember berisi air kembang. Menurut kepercayaan mereka
Paguyuban Kuda Tunggang Wisata Tungga Karya, ritual Suryo Jawi ini dapat
melancarkan rejeki dan memberi keselamatan bagi kuda terlebih bagi
pemilik kuda.
Objek sejarah
Di Kabupaten Karanganyar berlokasi Candi Sukuh, Candi Cetho, dan paling tidak dua sisa-sisa kompleks pemujaan Hindu dari masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Di dekat puncak Gunung Lawu juga ditemukan susunan batuan yang diduga berasal dari peninggalan zaman pra-Hindu (megalitikum). Di Kecamatan Matesih berlokasi dua kompleks pemakaman penguasa Mangkunagaran yang berdekatan, yaitu Astana Mangadeg dan Astana Girilayu. Di dekatnya terdapat Pemandian Pablengan yang telah ada sejak masa Kesultanan Mataram. Di dekat kota Karanganyar (tepatnya di Desa Janti) berlokasi tempat penandatanganan Perjanjian Giyanti, perjanjian yang menjadi tanda awalnya kolonialisme VOC dan Belanda di bumi Mataram.
sumber wikipedia,http://www.depdagri.go.id
Artikel Terkait:
SEJARAH KABUPATEN DI JAWA TENGAH
Anda mungkin juga meminati: